Responsive Advertisement
Responsive Advertisement
Dalam ajaran agama Hindu terdapat empat jalan untuk menuju Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang disebut dengan Catur Marga, yang terdiri dari Bhakti Marga, Karma Marga, Jnana Marga, dan Yoga Marga. Dalam pelaksanaannya Catur Marga tersebut merupakan kesatuan yang utuh yang saling melengkapi. Salah satu contoh nyata dalam pelaksanaan Catur Marga tersebut adalah melalui Upakara atau Banten pada upacara keagamaan Hindu di Bali. Upakara atau Banten merupakan salah satu sarana dalam pelaksanaan upacara bagi mereka yang menempuh jalan Bhakti Marga, akibat mempunyai kemampuan yang sangat terbatas dalam berhubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Upakara atau Banten tersebut diwujudkan dengan Karma Marga yaitu dengan jalan bekerja atau berbuat, yang nantinya akan dipersembahkan melalui Jnana Marga dan Yoga Marga, sehingga ajaran Catur Marga sudah diamalkan dengan baik.



Pelaksanaan upacara di Bali tidak pernah terlepas dari Banten. Dalam Lontar Tegesing Sarwa Banten menyebutkan pengertian banten sebagai berikut.
Banten mapiteges pakahayunan, nga; pakahayunane sane jangkep galang”
              Terjemahannya:
"Banten itu adalah buah pemikiran, artinya; pemikiran yang lengkap dan bersih"

Berdasarkan petikan kalimat di atas, Banten merupakan wujud dari pemikiran yang lengkap didasari dengan hati yang tulus ikhlas. Selanjutnya dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan mengenai simbol dari Banten itu adalah sebagai berikut.
sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuana”
              Terjemahannya:
"Semua jenis Banten (Upakara) adalah merupakan simbol diri kita, lambang kemahakuasaan Hyang Widhi dan sebagai lambang Bhuwana Agung (alam semesta)”

Salah satu jenis Banten yang sangat sering dipergunakan dalam upacara keagamaan Hindu di Bali adalah Banten Pejati. Kata “Pejati” berasal dari kata “Jati” mendapat awalan “Pa” sehingga menjadi “Pejati”. “Jati” artinya bersungguh-sungguh, benar-benar dan ditegaskan lagi menjadi sebenarnya atau sesungguhnya (Swastika, 2008: 106). Banten Pejati merupakan sarana upacara yang terdiri dari beberapa banten lainnya yang merupakan satu kesatuan sebagai sarana untuk mempermaklumkan tentang kesungguhan hati akan melaksanakan sesuatu dan berharap akan hadir-Nya dalam wujud manifestasi sebagai saksi dalam upacara tersebut. Oleh karena itu, Banten Pejati juga bermakna sebagai sarana memohon Pesaksi (Penyaksi) dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Unsur-unsur dari Banten Pejati adalah Daksina, Peras, Penyeneng, Tipat Kelanan, Sodaan, dan Segehan. Adapun penjelasan dari unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut.

 Gambar banten pejati lengkap

Gambar benten pejati setengah jadi
a.    Daksina
Daksina merupakan Banten yang sangat sering digunakan dalam upacara keagamaan Hindu di Bali. Dalam Lontar Yadnya Prakerti, Daksina merupakan lambang dari Hyang Guru, Hyang Tunggal, dan Hyang Wisnu. Selain itu Daksina merupakan Tapakan, Palinggih, atau Sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Daksina juga merupakan Yajnapatni yang berarti istri atau sakti dari yadnya. Unsur-unsur yang ada di Daksina merupakan isi dari alam semesta. Unsur itu berjumlah 13 (tiga belas) yang merupakan lambang dari Triyo Dasa Saksi, yang terdiri dari:
1.      Serembeng/ Bebedogan/ Wakul Daksina
Serembeng Daksina terbuat dari janur atau slepan yang bentuknya melingkar dan tinggi. Serembeng/Bebedogan/Wakul Daksina merupakan lambang dari Sang Hyang Ibu Pertiwi, yang merupakan simbol bumi (Makrokosmos). Pada umumnya Serembeng Daksina ini terdiri dari Alas Serembeng dan Serembeng Daksina. Alas Serembeng ini merupakan lambang dari Ibu Pertiwi, dan Serembeng Daksina merupak lambang angkasa/Eter yang tanpa tepi.
2.      Tapak Dara
Tapak Dara terbuat dari dua potongan janur kemudian dijahit membentuk tanda tambah. Tapak Dara merupakan lambang dari Sang Hyang Rwa Bhineda. Selain itu Tapak Dara adalah lambang Swastika yang berarti keseimbangan dan keadaan yang baik. 
3.      Beras Amusti/Agemel
Beras yang dipergunakan hanyalah segenggam. Beras merupakan lambang dari Sang Hyang Bayu dan segenggam merupakan simbol dari kekuatan.
4.      Porosan
Porosan merupakan inti dari sebuah banten. Porosan terbuat dar sirih yang didalamnya terdapat pinang dan kapur. Porosan adalah simbol Tri Murti, sirih merupakan simbol dari Dewa Wisnu, Pinang merupakan simbol Dewa Brahma, dan Kapur merupakan simbol Dewa Siwa. Pada umumnya Banten Daksina menggunakan porosan silih asih yang merupakan lambang dari Sang Hyang Semara Ratih
5.      Gegantusan
Gegantusan merupakan perpaduan isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam, dan ikan teri yang dibungkus menggunakan keraras (daun pisang yang sudah kering). Semuanya itu merupakan Sad Rasa. Gegantusan merupakan simbol dari Sang Hyang Indra. Selain itu Gegantusan juga merupakan simbol Jiwatman.
6.      Pepeselan
Pepeselan terbuat dari lima jenis dedaunan yang diikat menjadi satu yang merupakan lambang dari Panca Dewata yang terdiri dari, daun duku lambang Dewa Iswara, daun manggis lambang Dewa Brahma, daun durian/langsat/ceroring lambang Dewa Mahadewa, daun salak/mangga lambang Dewa Wisnu, dan daun nangka/timbul lambang Dewa Siwa. Secara, umum pepeselan merupakan lambang dari Sang Hyang Sangkara sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan.
7.      Pangi
 Buah Pangi atau Kluwek dialasi dengan kojong. Pangi merupakan simbol dari Sang Hyang Siwa Baruna/ Boma dan juga merupakan simbol sarwa pala/buah.
8.      Kelapa
 Kelapa yang digunakan adalah kelapa yang sudah dikupas kulit dan serabutnya dan disisakan ujungnya. Kelapa merupakan simbol dari Sang Hyang Surya atau Matahari yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Sadha Siwa. 
9.      Telur Bebek
Telur bebek dibungkus dengan ketupat telur (Ketipat Taluh) atau dialasi dengan kojong. Telur bebek merupakan simbol dari Sang Hyang Candra atau bulan yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Siwa.
10.   Tingkih
Tingkih atau kemiri dialasi dengan kojong. Tingkih merupakan simbol dari Sang Hyang Tranggana atau bintang yang merupakan cerminan dari Sang Hyang Parama Siwa.
11.  Benang Tebus Putih
 Benang tebus putih dililitkan di ujung kelapa yang merupakan simbol dari Sang Hyang Aji Akasa atau awan.
12.  Pis Bolong/ Uang Kepeng
 Uang kepeng 1 buah merupakan simbol dari Windu. Selain itu uang kepeng juga simbol dari Sunya, kosong atau embang.
13.  Canang Sari/ Canang Genten
 Canang Sari atau Canang Genten merupakan simbol dari Asta Asiwarya dan Panca Dewata yang menempati lima penjuru mata angin. Canang Sari berisi porosan.

b.        Peras
Alas dari Peras yang kecil dapat menggunakan ituk-ituk, sedangkan yang besar mempergunakan taledan. Diatas alas tersebut ditempeli kulit Peras yang terdiri dari lima potongan reringgitan yang melambangkan kekuatan Panca Dewata. Diatasnya diisi perlengkapan berupa tetukon terdiri dari base tampelan, beras, benang, dan uang kepeng, kemudian diisi dua buah tumpeng merupakan lambang Lingga/Gunung, disertai dengan Rerasmen memakai Kojong Umah Tabuan atau Kojong Rangkap/Perangkad sebagai lambang Tri Guna yang masing-masing berisi sambal sebagai simbol Rajasika, Ulam berupa telur, teri, dan udang sebagai lambang Tamasika, dan kacang, saur, mentimun, kemangi, dan terong lambang dari Sattwam. Selain Rerasmen, berisi pula jajan dan buah-buahan yang memiliki makna hasil dari perbuatan. 
Diatasnya memakai sebuah Sampyan Peras atau Sampyan Metangga atau bertingkat merupakan permohonan lahir bathin melalui Catur Marga. Sampyan Peras dilengkapi dengan porosan, bunga, kembang rampe, dan miyik-miyikan. Secara umum Peras berfungsi sebagai mengesahkan sesuatu, karena kata “Peras” berarti sah atau resmi. Kata “Peras” juga diidentikkan dengan kata “Prasida” yang berarti berhasil. Dalam Lontar Yadnya Prakerti, Peras merupakan lambang dari Sang Hyang Triguna Sakti, demikian juga halnya dalam penyelengaraan “Pamrelina Banten” disebutkan Peras sebagai “Pamulihang Hati” artinya kembali ke hati.

c.         Penyeneng
Alas dari Penyeneng memakai bentuk segitiga, yaitu ituk-ituk yang diberi pinggirannya yang disebut dengan Celekontong, berisi tetukon yaitu base tampelan, beras, benang, uang kepeng. Diatasnya sebagai alasnya berisi Sampyan Nagasari kemudian diatasnya ditempeli jejahitan berkepala tiga yang pada masing-masing pada lekukan bawahnya berisi sebagai berikut.
1.      Tepung Tawar yang melambangkan Dewa Siwa dan Pepusuhan.
2.      Sisig yaitu Jajan Begina yang dibakar melambangkan Dewa Brahma atau Nyali.
3.      Daun Dapdap yang ditumbuk berisi minyak yang diresapkan pada kapas yang disebut Pangelelenga melambangkan Dewa Wisnu dan Hati.
Penyeneng merupakan lambang dari dewa Tri Murti sesuai dengan mantra menghaturkan Penyeneng.

d.        Tipat Kelanan
Tipat Kelanan adalah ketupat nasi yang berjumlah enam buah yang diikat dua-dua dengan menggunakan alas berupa Tamas. Tipat ini diletakkan melingkar dengan ujung ikatannya berada di tengah dan disusun dengan ituk-ituk sebagai tempat garam dan telur. Tipat Kelanan ini merupakan simbol pembersihan dan penyucian terhadap Sad Ripu.

e.       Sodaan/Ajuman/Rayunan
Sodaan ini menggunakan alas berupa Ceper atau Taledan atau Tamas. Diatas alas tersebut berisi dua buah penek yang merupakan lamabang dari danau dan lautan atau Purusha dan Pradana. Terdapat pula Rerasmen yang alasnya dapat memakai celemik ataupun ceper kecil. Kemudian terdapat Raka-raka. Kemudian diatasnya diletakkan Sampyan Plaus yang berbentuk segitiga, yang dilengkapi dengan porosan, bunga, kembam rampe, dan miyik-miyikan. Sodaan ini merupakan berfungsi sebagai bentuk suguhan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
  
f.       Segehan
Upacara Bhuta Yadnya yang terkecil atau kanista adalah Segehan. Kata Segehan berasal dari kata “Sega” yang berarti nasi. Sehingga banten Segehan ini selalu didominasi oleh nasi. Bahan pembuat Segehan ini terdiri dari alas menggunakan daun pisang, nasi, yang dilengkapi dengan jahe, bawang, garam dan arang sebagai lauknya. Nasi tersebut diletakkan dan diwarnai sesuai dengan jenis dan nama Segehan tersebut, seperti Segehan Putih Kuning menggunakan nasi berwarna putih dan kuning, Segehan Brumbun mengunakan nasi berwarna lima dan sebagainya. Selain itu dapat pula menggunakan warna asli atau utama yaitu warna putih menggunakan beras, warna merah menggunakan beras merah, warna kuning menggunakan ketan, dan warna hitam menggunakan injin. Dilengkapi pula simbol dari nasi warna kuning. Nasi  yang bewarna kuning melambangkan Bhuta Jenar, nasi yang berwarna merah melambangkan Bhuta Bang, nasi warna putih simbol Bhuta Petak, warna hitam simbol Bhuta Ireng, dan nasi brumbun simbol Bhuta Tiga Sakti. Selain itu unsur terpenting dalam segehan adalah garam simbol Satwika Guna, jahe simbol Rajasika Guna dan bawang simbol Tamasika Guna. Ketiga unsur tersebut menyimbolkan penetralisir kekuatan Tri Guna. Sedangkan alasnya yang terbuat dari daun pisang bermakna sebagai penolak marabahaya atau Bhuta Kala. Pada saat menghaturkan Segehan disertai dengan menabuh berupa arak, berem dan toya hening.

Demikianlah penjelasan mengenai unsur, bentuk, fungsi dan makna dari Banten Pejati. Banten Pejati bukanlah hanya sekedar sarana upacara saja, tertapi di dalamnya sarat akan makna filosofis maupun teologis yang sudah diwariskan oleh para leluhur agama Hindu terdahulu. Oleh kerena itu, perlu adanya pemahaman terhadap Banten secara menyeluruh dan utuh sehingga dapat meningkatkan Sradha dan Bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan tercapainya tujuan dari Agama Hindu yaitu kebahagian di dunia dan kebahagiaan yang abadi berdasarkan atas Dharma (Moksartham Jagadhita Ya Ca Iti Dharma).

oleh: Wasudewa Bhattacarya
Lebih baru Lebih lama
Responsive Advertisement
Responsive Advertisement
Responsive Advertisement