Sumber Gambar : http://wayantarne.blogspot.com |
1. Pendahuluan
Keselarasan hidup perlu
diwujudkan dengan mengharmonisasikan hubungan kita kepada Sang Pencipta (Parhyangan), hubungan dengan sesame (Pawongan) dan juga hubungan harmonis
kita dengan lingkungan hidup kita (Palemahani).
Keharmonisan itu membangun keseimbangan hidup yang akan menuntun kehidupan
manusia untuk menuju kebahagiaan hidup di dunia yang disebut dengan Jagadhita. Itulah sebabnya Agama Hindu
dalam setiap aktivitasnya senantiasa terus mengupayakan keselarasan hidup, yang
diimplementasikan baik melalui aktivitas jasmaniah Sekala dan aktivitas spiritual/ Niskala.
Aktivitas atau kerja Sekala dan Niskala ini juga salah satu bentuk sinergisitas badan manusia itu
sendiri yang hakikatnya terdiri dari badan wadag dan ruhnya. Begitu juga alam
semesta ini ada yang nampak dan juga ada alam lain di dimensi lain yang hidup
bersama kita. Tidak nampak, tetapi sejatinya ada dan mempengaruhi hidup
manusia. Sekala-nya manusia melakukan
aktivitas kerja fisiknya, seperti berlar, berjalan, membersihkan lingkungan,
dan lain sebagainya. Sedangkan secara Niskala
hal yang dilakukan adalah melalui kegiatan yajña, sebagai bentuk pernyataan persembahan dan penyerahan diri
yang tulus ikhlas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi
Beliau. Dua hal itu dilakukan secara sinergis dan berkesinambungan sehingga
mereka mengalir dalam setiap langkah umat Hindu, yang nampaknya setiap saat
melakukan upacara dan pesembahan. Itu merupakan wujud antara aktivitas fisik
dan spiritual, sekala-niskala, itu
berjalan bersama, berdampingan dan saling mempengaruhi. Tiada hari tanpa yajña, tiada aktivitas tanpa didahului
oleh yajña, seberapapun besarnya
pekerjaan yang dilakukan, yajña pasti
menjadi awal dan akhir dari pekerjaan tersebut.
Salah satu pekerjaan
yang amat nyata dan mudah kita amati bersama adalah saat manusia muai membuka
lahan untuk dijadikan lahan pemukiman, dibuka lahannya untuk kawasan pertanian
dan perkebunan, serta aktivitas yang bersentuhan langsung dengan pemanfaatan
lahan dan lingkunga, umat Hindu senantiasa mengawalinya dengan upacara Pacaruan, dalam hal ini disebut dengan
upacara Pangruakan, yaitu upacara bhuta yajña untuk memohonkan permakluman
dan izin untuk memanfaatkan lahan. Secara sekala
upacara ini dapat dijadikan sebagai tonggak dimulainya kerja serta
orientasi medan dalam pemanfaatan lahan. Sedangkan secara Niskala hal ini bermakna untuk menetralisir kekuatan negatif agar
tidak mengganggu kerja manusia, serta mengatur energy-energi alam agar teratur
dan seimbang posisinya di wilayah itu. Begitu besarnya peranan banten caru dalam kehidupan ini,
menyebabkan upacara ini tidak dapat bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia.
Secara hukum Acara Agama perbedaan
bentuk dan julukan nama sejatinya sama, dan hal itu masih dibenarkan. Dari
tataran Tattwa dan Susilanya sejatinya tak mungkin akan
jauh berbeda dan secara etis pastilah mencerminkan hal tersebut.
2.
Pengertian dan Mithologi Caru
Caru
secara
bentuk upacara dan tata cara pelaksanaannya tidak lepas dari praktik
pelaksanaan ajaran Tantra khususnya
ajaran Bhairawa.
Ajaran Bhairawa ini menunjukkan
usaha-usaha mistik untuk menuju kebahagiaan yang sempurna, salah satunya dengan
menghaturkan hewan kurban, daging, darah, minuman keran, gerak tari dan
hubungan intim simbolik religius yang disebut dengan istilah dengan Panca Makara. Pelaksanaan Panca Makara sebagai praktek ajaran Bhairawa yang masih terwariskan hingga
saat ini mengalami modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian, di antaranya
penggunaan daging mentah dan darah (Mamsa)
diolah menjadi olah-olahan caru, lawar dan
sate dalam caru. Mina yaitu unsur ikan ditunjukkan dengan penggunakan rerasmen, ikan teri, terasi, dan lain
sebagainya pada banten Caru. Mada yaitu unsur-unsur minuman keras yang
dimodifikasi dengan penggunaan tetabuhan yang
terdiri dari arak, berem, tuak, dan
air gula. Mudra yaitu gerak tangan
simbolik religius, dalam caru diwujudkan
saat melakukan prasawya
pada prosesi ngrebeg. Sedangkan untuk
Maithuna yang secara harfiah berarti
penggabungan, hubungan intim, disimbolkan dengan melakukan prosesi matabuh rah dan panglebar caru sesuai dengan tradisi daerah setempat.
Caru
ini
secara etimologi kata berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti hewan kurban,
berkurban, mengurbankan, ketel kurban, kawah kurban (Simpen, 1982: 52).
Berdasarakan etimologi kata dan implementasinya sudah amat sesuai yaitu adanya
prosesi mengurbankan hewan sebagai sebuah pesembahan. Persembahan ini bukan
berarti umat Hindu adalah pemuja setan, tetapi melalui persembahan ini kita
memohon kepada Tuhan sekaligus mendoakan makhluk-makhluk di bawah kita agar
mendapatkan kedamaian dan penyucian dari Tuhan. Digunakannya unsur daging,
darah dan sarana-sarana yang nampaknya cukup mengerikan itu karena sarana
darah, daging, dan bau amis yang ditimbulkannya itu amat disukai oleh kekuatan
itu dan akhirnya mereka bisa tenang/ somya.
Tetapi secara logika, penggunaan bahan organik dalam banten caru yang kemudian nantinya ditanam dalam tanah itu akan
amat bermanfaat bagi kesuburan tanah di wilayah itu.
Mithologi yang
mendasari pelaksanaan caru di Bali
adalah kisah Mahabharata pada Sauptika
Parwa, yakni saat Dhuryodana yang dalam keadaan sekarat masih penuh dendam
dan amarah namun kematiannya belum kunjung datang. Saat itu Aswatama ingin
membalaskan dendam sahabatnya itu untuk membunuh Pandawa. Dini hari ia melancarkan
aksi memalukan sepanjang sejarah yakni membunuh Panca Kumara
yang masih tertidur lelap pasca perang Bharata
Yudha. Panca Kumara ditebas dengan pedang Aswatama, dan pedang yang
berlumuran darah para pangeran Pandawa itu dibawanya kepada Dhuryodana. Dioleskannya
pedang itu disekujur tubuh Dhuryodana dan akhirnya ia bisa memperoleh
kematiannya dengan tenang. Hal ini menunjukkan kekuatan negatif yang
disimbolkan oleh Dhuryodana dapat menjadi tenang oleh penggunaan darah. Itulah
sebabnya pada banten caru menggunakan
daging dan darah lima ekor ayam sebagai simbol pengorbanan suci Panca Kumara untuk mendamaikan,
menyucikan, menyomya kekuatan negatif
alam semesta ini.
Sedangkan secara
teologis, pelaksanaan Caru yang
dilakukan oleh umat Hindu di seluruh Nusantara dengan berbagai tata cara sesuai
adat setempat bersumber pada petunjuk dalam lontar
Purwa Bhumi Kamulan, Purwa Bhumi Tua, dan Kala tattwa. Disebutkan dalam teks tersebut bahwa Caru merupakan upacara bhuta yajña untuk menenangkan para bhuta kala agar tidak mengganggu
kehidupan manusia. Secara khusus dalam lontar Kala Tattwa juga dijelaskan bahwa dengan melakukan caru maka alam akan disucikan (bhumi sudha) dan kekuatan-keuatan alam
lainnya akan seimbang kembali (somya)
sehingga kehidupan manusia kembali harmonis dan bisa memperoleh kesejahteraan
(Tim Penyusun, 1998: 4).
3.
Unsur-unsur dalam Banten Caru
Banten Caru sejatinya ada beragam jenis dan
fungsinya tersendiri. Penamaan Caru itu
sendiri disesuaikan dengan jenis hewan kurban yang digunakan. Dalam makalah ini
disajikan unsur-unsur bebantenan inti
dalam Caru Ayam Brumbun yaitu banten Caru yang menggunakan sarana ayam dengan
bulu yang berwarna brumbun (Campuran
warna putih, merah, kuning dan hitam) sebagai hewan kurbannya. Setelah ayam itu
dipotong (bulunya tidak dicabut) lalu dikuliti sedemikian rupa sehingga bagian
kepala, sayap dan kakinya masih melekat satu dengan lainnya. Dagingnya di
“olah” dijadikan tiga jenis “urab-uraban” (urab
barak, urab putih, gegecok) dan 3 jenis sate (sate lembat, sate asem, sate calon). Ketiga jenis uraban dan sate itu disebut Trinayaka sebagai
simbol jasmani ayam tersebut yang disimbolkan dengan aksara suci Ang, Ung, Mang (Arwati, 2008:18)
4.
Penutup
Hindu adalah agama yang sangat fleksibel dan tidak kaku, sehingga memberikan ruang kebebasan bagi umat untuk membuat sarana upakara sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki, namun secara makna spiritual dan tujuan yang dituju adalah sama. Itulah sebabnya tetandingan caru dan bentuk jejahitan
dan tata cara merangkainya antara desa yang satu dengan desa yang lainnya
akan berbeda, disesuaikan dengan desa,
kala, patra. Namun ada hal pokok yang memiliki
kesamaan di setiap banten caru sesuai
dengan yang disyaratkan dalam teks-teks upacara banten Caru seperti lontar Dharma
Caruban termasuk pula yang telah dirumuskan melalui kesatuan tafsir agama
Hindu dan pedoman-pedoman pelaksanaan upacara agama yang dirumuskan secara
praktis oleh Kementerian Agama. Menurut pedoman tetabdingan banten caru ayam brumbun yang diterbitkan oleh Kantor
Wilayah Kementerian Agama Provinsi Bali, merumuskan unsur-unsur pokok yang
terdapat dalam banten caru ayam brumbun adalah
sebagai berikut.
- Karangan, sebuah taledan berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 2 biji, serta dilengkapi dengan garam dan sambel. Berisi nasi dialasi sebuah bakul (nasi sokan yang dilengkapi dengan sirih “lekesan” pinang dan gambir), diisi dengan sampian nagasari.
- Kawisan, sebuah taledan yang isinya seperti membuat Karangan tetapi nasinya diganti dengan nasi pangkonan/ penek, diisi dengan canang genten.
- Bayuhan, sebuah taledan berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 1 biji. Dibuat dalam 8 tanding. Nasinya adalah 8 buah tumpeng brumbun dan banten danan masing-masing berisi tumpeng putih 2 buah, lengkap dengan raka-raka, sesaur dan sambel, diisi sampian matangga.
- Ketengan, sebuah taledan yang berisi urab-uraban dan sate tiap jenisnya 1 biji. Dibuat dalam 8 tanding. Nasinya adalah “nasi sasah berumbun” 8 tanding dan diisi canang genten.
- Segehan Cacahan dibuat sebanyaj delapan tanding.
- Cau dandan, dibuat sebanyak 8 buah berisi nasi brumbum serta dilengkapi dengan lauk-pauk, disajikan di atas jejaitan kapu-kapu yang digandengkan.
- Tulung Sangkur, dibuat sebanyak 8 buah, berisi nasi brumbun dan lauk-pauk.
- Takep-takepan, dua buah ceper kecil yang dikatupkan di dalamnya berisi beras, base tampel, benang putih, dan uang kepeng. Dibuat 8 tanding.
- Banten Peras-Penyeneng, ayaban alit dari caru minimal berisi banten peras, penyeneng, sanga urip, dan sorohan alit, yang diletakkan di hulunya banten caru.
- Banten di Sanggah Cucuk, di dalam Sanggah Caru dihaturkan Daksina, banten danan dengan sampian matangga, ketipat kelanan, tadah sukla, banten burat wangi, dan peras ajuman. Sanggah Cucuk dilengkapi dengan gantung-gantungan dan lamak, yang dialasi juga dengan daun telujungan.
- Kwangen, dibuat sebuah Kwangen yang diisi delapan uang kepeng.
- Layang-layang, belulang ayam brumbun tadi di taruh di atas sebuah klatkat, sebaiknya klatkat sudamala, yang dialasi dengan daun telujungan kecil, kemudian di taruh di bagian paling atas dari tumpukan tetandingan banten caru ini.
- Uparengga Caru, uparegga yang diperlukan dalam banten Caru ini adalah sebuah 1). sengkuwi yang jumlah anyaman/ ulat-ulatannya sebanyak 8 buah. 2). Sanggah Cucuk, berbentuk segitiga, dilengkapi dengan cambeng yaitu empat batang bambu kecil yang digantung atau diselipkan pada tangai sanggah cucuk untuk tempat sarana tetabuhan yaitu arak, berem, tuak dan toya anyar. 3) Kober Caru menggunakan secarik kertas lima warna, yang diikatkan pada setangkai ranting bamboo kecil yang masih berisi daun. 4). Sampat, tulud, prakpak, dan kulkul adalah sarana untuk ngrebeg.
Demikianlah
unsur-unsur pokok yang terdapat pada banten caru
yang penulis sadari masing-masing daerah memiliki perbedaan, baik tata cara
nanding, unsur-unsur yang
dipergunakan, bentuk tetuasan dan
lain-lainnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan ada daerah yang tidak
menggunakan beberapa unsur di atas, atau bahkan ada yang lebih dari unsur-unsur
tetandingan yang telah disajikan
dalam makalah ini. Hal itu kembali pada konsep desa kala patra, namun yang perlu diingat bahwa unsur pokok dalam
caru adalah adanya Trinayaka tersebut.
Jumlah tetandingan dalam makalah ini
disajikan 8 tanding, jika caru ayam brumbun ini digunakan untuk Caru Panca Sata. Sedangkan jika caru ayam brumbun ini berdiri sendiri
sehingga digunakan dalam Caru Eka Sata, maka
jumlah tetandingan nya menjadi tiga
puluh tiga (33) tanding yang disebut
dengan Uriping Bhuana, yang
didapatkan dari akumulasi dari urip kelima arah penjuru mata angin. Perlu
diperhatikan, jika Caru Ayam Brumbun ini
digunakan untuk menyertai empat caru ayam
lainnya dalam Caru Panca Sata maka keberadaan caru ayam brumbun ini adalah sebagai
satu kesatuan dengan empat caru
lainnya.
Ditinjau
dari penggunaannya, Caru Ayam Brumbun ini
disebut pula Caru Pangruak yang
digunakan untuk upacara membuka lahan pertama kali. Caru ini difungsikan untuk menetralisir kekuatan alam di lingkungan
yang akan dibuka lahannya baik untuk pertanian, perkebunan, perumahan,
lebih-lebih digunakan untuk pendirian tempat suci. Harapannya agar lingkungan
di tempat pembangunan tersebut menjadi harmonis dan segala usaha yang dilakukan
di tempat itu mendapatkan keberhasilan. Caru
Ayam Brumbun juga digunakan untuk menyucikan area pekarangan rumah dari kekuatan-kekuatan
negatif yang merugikan, sekaligus sebagai media penbusan hutang manusia kepada
alam semesta yang sudah banyak memelihara hidup kita.
Caru
sebagai
modifikasi praktik ajaran Bhairawa yang
masih dilanjutkan oleh umat Hindu Nusantara memiliki makna dan nilai yang amat
mendalam, yaitu sikap rela berkorban. Pengorbanan jiwa adalah pengorbanan
tertinggi bagi Tuhan, Kita rela mengorbankan kesenangan kita, harta kita, dan
juga tenaga kita untuk menyiapkan sarana caru
itu adalah bentuk kesungguhan kita dalam berkorban, yang tentunya dilandasi
dengan semangat tulus ikhlas tanpa pamerih. Caru
merupakan wujud kepedulian dan kesadaran umat manusia untuk menjaga
keseimbangan dan keharmonisan alam, untuk menjaga keberlangsungan hidup setiap
makhluk agar hidup dalam kedamaian dan kesejahteraan (Shanti Jagadhita).
oleh : I Gede Arum Gunawan, S.Ag.